Kamis, 23 Januari 2014

CERPEN (SEPOTONG HATI KU YANG BARU) TUGAS SOFTSKILL


SEPOTONG HATI KU YANG BARU

Aku Wulan, sejak awal masuk kuliah di Universitas aku tidak pernah punya kenalan cowok yang cocok di hati aku buat jadi pacar plus driver buat ku. Yahh... Akhirnya seperti ini, kemana-kemana harus on foot with my soulmate, sii “gendut” Putri. Tapi  tidak masalah, karena sahabat aku yang satu ini orangnya gokil banget, walaupun sebenernya kita sahabatan dari awal masuk kuliah disini, tapi kegokilannya jadi makin parah setelah kami begitu dekat.

Tidak ku sangka nomor tidak dikenal dua hari yang lalu menjadi awal dari cerita ini.
Awalnya dia kirim message ke aku. Tanggapan biasa saja, emang dasarnya cewek
cuek-cuek gitu. Padahal kalau dicuekin balik pasti gak mau.

“Mau
aku jemput gak? mau yaa.. yaaa.. yaa.. sekalian ketemuan gitu”, katanya lewat sms yang dikirim ke my cell phone setelah aku bilang kalau aku lagi di jalan, habis pulang kuliah. Dan pada akhirnya aku mengiyakan

Lumayan dapet ojek gratis. Hehehe…

Ketika aku turun dari angkot aku bingung yang mana orangnya, maklum soalnya ini pertama ketemu semenjak kita chat lewat message seminggu yang lalu. Dan di seberang jalan tepat arah jam dua belas aku melihat seseorang sedang menunggu. Apa mungkin dia?

Aku menghela nafas perlahan, bertanya perlahan, berusaha memutus suasana canggung lima menit terakhir.  
Wulan yaa...” katanya sambil menghampiri ku.

“Iya, km Bayu ya?” sahut aku kemudian.

“Apa kamu baik-baik saja?”Aku  mengangkat kepala, mengangguk.

“Apa ka
mu sendiri baik-baik saja,” Aku balik bertanya pelan.

Diam sejenak. Sungguh hatiku tidak
karuan seperti ini.

Lalu dia menjabat tangan
aku seperti orang maaf-maafan ketika lebaran. Aku tertawa dalam hati. Aku berfikir kekonyolan macam apa ini hingga membuat aku salah tingkah seperti ini. Tanpa ku sadari aku senyum-senyum sendiri tidak tahu apa yang sedang aku fikirkan.

Makasih ya... sudah jemput dan mengantarkan aku sampai rumah...” kata ku sesampainya di depan gang rumah ku yang agak gelap itu.

“Ok
e... kalau butuh apa apa hubungi aku ya, jangan sungkan sungkan...” jawabnya sambil melontarkan senyuman.

Dan
Bayu pun pulang. Namun benak ku masih merekam jelas bayangannya. Tak kusangka dia orangnya baik banget, enak diajak ngomong, lucu, nyambung kalo diajak ngobrol, dan yang terpenting aku merasa nyaman didekatnya. Duuhhh... kok jadi aneh gini sih aku..

Hei, kenapa kok senyam-senyum gitu, kesambet setan darimana kamu…”, celetuk sahabat ku Safitri yang tiba tiba muncul di hadapan ku.
“Gila
kamu Saf, aku kaget banget. Dateng-dateng gak assalamu’alaikum dulu kamu...” sahut aku.

Aku pun berlalu meninggalkannya yang masih melongo kayak sapi ompong di depan pintu kamar ku gara gara heran melihat aku senyum-senyum sendiri. Mungkin dia baru sadar kalau senyuman aku ini bisa mengalihkan dunianya. Hahaha...
Dan itulah yang terjadi, dunianya beralih menjadi dunia yang penuh tanda tanya.

Lama
kelamaan aku tidak tega juga melihat sahabat ku, dari tadi aku perhatikan wajahnya menyimpan pertanyaan. Akhirnya aku putuskan untuk menceritakan apa yang membuat ku seperti ini. Dan benar sekali ekspresi Safitri cuma melongo, dan untuk kali ini dia tidak terlihat seperti sapi ompong tapi lebih parah lagi, dia terlihat seperti ayam telo yang seperti orang oon. Hahaha....

Dua hari kemudian aku diajak jalan dengan Bayu. Setelah jalan kita berdua jajan di warung pinggir jalan , setelah itu jalan-jalan mengelilingi taman mall graha yang tidak jelas tujuannya sambil mengobrol yang tidak jelas juga dengan sepeda motor yang dimilikinya. Hahahaha... Lalu kita berhenti di rumah Safitri sahabat aku. Dan  disana dia menyatakan perasaannya sama aku. Dia nembak aku. Dan aku pun langsung kena tembakannya. Jadi malam itu aku resmi jadian sama dia. 

Seminggu berlalu, dan
aku punya rencana untuk menjodohkan Safitri dengan temannya Bayu, Ilyas namanya. Dua hari kemudian mereka jadian. Dan itu tandannya aku berhasil jadi mak comblang mereka berdua. Hahaha... Wah, jadi kayak kontak jodoh aja nih aku. Hehehe...

Suatu sore setelah dua hari
aku di rumah, Safitri memberi tau aku kalau dia putus dengan Ilyas. Aku bertanya dengan Safitri apa alasannya dia putus dengan Ilyas? Dan dia menjawab kalau ternyata Ilyas masih punya pacar yang hingga kini statusnya tidak jelas bersama wanita itu. Aku jadi merasa bersalah sama Safitri, karena aku lah orang yang menjodohkannya dengan Ilyas. Tapi aku berusaha menenangkan diri dan mencoba menghibur sahabat ku itu. Akhirnya diapun merelakan hubungannya yang harus kandas secepat itu.


***Satu tahun kemudian

Sudah sekian lama menjalin hubungan dengan Bayu baru kali ini aku merasakan ada hal yang aneh dengannya. Entah itu apa tapi hal itu benar-benar mengganggu pikiran dan hatiku. Seolah bertanya-tanya apa yang sedang terjadi dengannya dibelakang ku? Entah pertanyaan itu terlintas begitu saja didalam fikiran ku. Ya, ternyata memang benar apa yang aku rasakan. Ternyata tanpa ku ketahui selama ini dia masih berhubungan baik dengan mantan pacarnya dibelakang ku. Selama ini ternyata Bayu sudah membohongi ku dengan kata-kata manisnya. Kenapa selama ini menjalin hubungan bersamanya aku benar-benar tertipu dengannya.
“Maafkan aku.” Sambil menggigit bibir dan tertunduk lagi.

Aku menatap wajahnya lamat-lamat.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah
terjadi. Tertinggal jauh di belakang
tanpa pernah kamu mengakuinya.” Aku menelan ludah. Berusaha menjawab bijak—
aku tahu itu bohong, pura-pura bijaksana.

Hening lagi sejenak.

”Sungguh maafkan aku
lan,”
 ”Aku tidak pernah tahu akan seperti ini jadinya.”

Aku menggeleng, “Kau tidak harus minta maaf, meskipun seharusnya kau tahu,
apa yang kau lakukan salah, tetapi percuma kau tidak pernah menghargai perasaan aku sehingga dengan mudahnya kau menyakiti hati ku, mengecewakan aku dengan cara seperti ini. Menyakitkan. Semua itu membuat sesak. Kalimat itu mungkin benar, ada seseorang dalam hidupmu yang ketika ia pergi, maka ia juga membawa sepotong hatimu. Dan kau bahkan membawa lebih dari separuh hatiku.”
Indahnya bulan purnama di atas sana membuat malam ini semakin sunyi. Malam yang sunyi, kosong sepanjang mata memandang, menyisakan kerlap kerlip lampu penerang jalanan di kejauahan. Jemari Bayu terlihat sedikit gemetar.

“Kau tahu, aku melalui
berbulan-bulan yang sangat menyenangkan bersama mu. Hingga akhirnya mencapai angka satu tahun bersamamu. Tapi hal yang sangat menyenangkan itu telah berubah menjadi hal yang sangat menyakitkan. Dan yang lebih membuat semuanya terasa menyakitkan, aku tidak pernah mengerti mengapa kau bisa-bisanya melakukan hal seperti itu kepadaku. Tega-teganya membohongiku selama ini, berpura-pura mencintaiku, tetapi sesungguhnya kenyataannya berbeda. Sesungguhnya aku tidak pernah yakin atas segalanya, atas apa yang terjadi saat ini, aku tidak pernah mengira kau yang aku kenal baik-baik saja berubah menjadi kejam dan jahat dengan ku. Satu tahun berlalu, ternyata kamu cuma menjadikan aku pelarianmu saja. Kau hanya berkutat mengenangnya. Mendendang lagu-lagu cinta, membaca buku-buku cinta kepadaku. Ternyata itu semua agar kau bisa mengalihkan kebersamaan mu dengannya.”

“Maafkan aku.” Suara
Bayu bahkan kalah dengan kesunyian malam ini, matanya mulai basah menahan tangis.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan.” Aku
memandang kearah lain, menatap bulan yang pada malam itu bersinar dengan indahnya. Berusaha mengusir rasa sesak yang tiba-tiba menyelimuti hati. Sudahlah. Buat apa diingat lagi. Kemudian kembali menatap wajah Bayu, tersenyum, “Kau tahu, di tengah semua kesedihan itu, setidaknya saat itu aku akhirnya menyadari, aku tidak akan pernah bisa melanjutkan hubungan ini dengan hatiku yang hanya tersisa separuh untukmu. Tidak bisa. Hati itu sudah rusak, tidak utuh lagi. Maka aku memutuskan membuat hati yang baru. Ya, hati yang benar-benar baru.”

Hening lagi sejenak.

Bayu mengangkat kepalanya, bertanya ragu-ragu, cemas, “Apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku?”

***
Satu tahun yang lalu.

Di tempat yang sama. Bedanya tidak ada kesedihan di sana. Bayu mengeluarkan kotak cincin batu bulan itu.

“Aku tahu ini bukan permata.” Tersenyum, “Hanya cincin sederhana, berhiaskan batu bulan, simbol
nama mu. Apakah kau suka?”

Aku mengangguk-angguk. Tersenyum amat lebarnya. Menjulurkan tanganku. Dia mencoba memasangkan cincin tersebut. Dengan Sumringah menatap wajahku,

“Itu akan menjadi cincin pernikahan kita.”
Kalimat itu meluncur begitu saja. Aku lupa kalau selama sebulan terakhir
merencanakan banyak hal. Menyiapkan prolog dan kalimat pembuka yang indah.
Malam itu, menatap wajahnya, kalimat itu meluncur begitu saja.

Bayu menatapku. Matanya membulat. Mukanya memerah. Tersenyum. Kemudian
tersipu mengangguk. Sungguh, malam itu berubah seperti ada seribu kembang api
yang meluncur menghias angkasa. Hatiku menyala oleh rasa bahagia.


***Malam itu. Satu tahun yang lalu.

Dan semua mulai dikerjakan. Keluarga saling bertemu, tanggal pernikahan ditentukan, kartu undangan disebar, hal-hal kecil diselesaikan, semua berjalan begitu lancar.

Tetapi pernahkah kalian menyimak film-film. Yang ketika pasangan itu siap menikah beberapa hari lagi, salah-satu pemerannya entah kenapa bertemu dengan seseorang—biasanya seseorang itu calon mempelai perempuan. Seseorang yang terlihat begitu sempurna. Seseorang yang mengambil segalanya. Ketika kalian menonton film itu, bahkan kalian tega membela perasaan yang baru muncul di hati jagoan wanitanya. Tega berharap agar pernikahan itu tidak jadi. Berharap calon mempelai perempuan berhasil mendapatkan seseorang yang tiba-tiba muncul,
berharap cinta hebat yang tumbuh mendadak yang menang, membenarkan alasan si calon mempelai perempuan. Akui sajalah, kita selalu membela cinta model ini.

Itulah yang terjadi denganku. Persis
sebulan sebelum kami menikah, Bayu bertemu dengan wanita itu. Ya, benar wanita itu adalah dia, dia yang dahulu pernah menghiasi hari-harinya, cinta pertamanya. Dalam sebuah pertemuan yang mengesankan. Dia tidak peduli di mana, kapan, dan entahlah pertemuan itu terjadi. Tidak peduli. Yang pasti dia orang yang dahulu amat Bayu cintai, yang selalu mambuatnya bahagia meremukkan seluruh kenangan indahku bersama Bayu. Menghancurkan kedekatan kami , keluarga kami, dan sebagainya dengan lima hari pertemuan. Ya Tuhan, bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi?

Sungguh lelucon cinta yang tidak lucu.

”Maafkan aku.”
Bayu berkata pelan, ”Aku, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

”Aku, aku mencintainya.”
Bayu menghela nafas, ”Kau tahu, akan terasa, akan terasa menyakitkan kalau kita tetap menikah dengan kenyataan aku mencintainya.”

Ya Tuhan? Dia mencintainya hanya dengan pertemuan
selama sebulan?

”Maafkan aku…” Suara
nya bergetar.
Suara kicauan burung terdengar bagai lagu penuh kesedihan. Bukan, bukan karena semua ini tidak Aku mengerti yang membuatku sakit hati. Bukan karena tiba-tiba, bukan kenapa harus terjadi sebulan sebelum pernikahan kami. Aku juga tidak mampu membenci wanita itu. Apa salahnya? Menyalahkan karena tiba-tiba datang kembali dikehidupan Bayu lagi? Menyalahkannya kenapa harus wanita itu yang dia cintai? Pertanyaan yang tidak logis yang mengelayuti fikiran ku. Aku tahu, selalu ada bagian yang tidak masuk akal dalam perjalanan cinta. Tetapi lebih karena, lihatlah, percakapan ini, Aku tahu persis, separuh hatiku akan pergi. Persis seperti sebuah daun berbentuk hati, diiris paksa oleh belati tajam, dipotong dua. Aku sama sekali tidak bisa mencegahnya.

Dia membatalkan pernikahan, begitu saja. Pakaian pengantin dikembalikan, gedung yang disewa dibatalkan, katering yang disiapkan diurungkan. Menyisakan pertanyaan-pertanyaan teman, malu di wajah keluarga, menyisakan itu semua. Itu sungguh masa-masa yang sulit bagiku kalau akhirnya akan seperti ini.

“Kita tidak berjodoh. Maafkan aku.” Dan
dia pun pergi malam itu meninggalkan aku sendiri. Di tempat yang sama ketika Bayu memperlihatkan cincin batu bulan itu kepada ku.

***
Satu tahun Kemudian

Bayu menghela nafas perlahan, bertanya perlahan, berusaha memutus suasana canggung lima menit terakhir, “Apa kau baik-baik saja?”

Aku mengangkat kepalaku dan mengangguk.
Hening sejenak. Lebih banyak kesunyian menggantung di langit-langit malam ini. Malam pertemuan kesekian kalinya Aku dengan Bayu, malam ini, malam sekarang.

“Apakah, apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.”
Bayu ragu-ragu
bertanya lagi, dengan suara yang semakin pelan dan semakin cemas.
Aku terdiam. Mengusap wajah kebas.

Angin malam semakin kencang menghantam wajah.
Aku sungguh tidak menduga, setelah setahun berhasil pergi dari segala kesedihan itu. Susah-payah menyingkirkan kenangan lama yang selalu menelusuk di malam-malam senyap. Bayu mendadak kembali. Meneleponku dengan suara tersendat. Meminta kami bertemu malam ini.
Dan aku sungguh tidak mengerti mengapa aku harus menemuinya. Semua itu sudah selesai. Bangunan hubungan kami sudah hancur berkeping-keping, bahkan jejak pondasinya pun tidak ada lagi. Hanyut tercabut setahun silam. Tetapi aku toh tetap menemuinya. Di tempat pertama kali aku mengenalnya. Di tempat dia membatalkan begitu saja rencana pernikahan kami. Di tempat kenangan kami.
Bayu datang mengenakan kemeja putih. Matanya sembab, wajahnya sendu. Dan terisak perlahan setelah setengah jam berlalu. Dia menceritakan banyak hal. Meski lebih banyak menahan tangis.  Aku hanya diam. Dulu, setiap melihatnya menangis, aku pasti seolah ikut menangis. Bergegas berusaha menghiburnya, melucu, memberikan kata-kata motivasi, apa saja.
Tetapi malam ini, aku hanya menatap kosong ke arah lurus kedepan. Menyerahkan sapu-tangan kepadanya. Lantas diam.
Apa yang harus kulakukan? Apa yang Bayu harapkan saat ini?
Ketika hati itu terkoyak separuhnya setahun lalu, aku sudah bersumpah untuk menguburnya dalam-dalam. Berjanji berdamai dengan keadaan meski tak akan pernah aku kuasa untuk melupakannya. Malam ini saat Bayu bilang hubungan hebatnya dengan wanita itu gagal, aku sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan. Apa aku harus senang? Sedih? Marah? Tidak peduli? Ya Tuhan, ini semua sungguh menyakitkan hatiku.
“Apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.” Bayu bertanya lagi, kali ini seperti bertanya kosong.
Aku hanya diam. Lihatlah, Bayu dicampakkan begitu saja. Itu menurut pengakuannya. Apa yang sebenarnya terjadi, aku tidak tahu. Sama tidak tahunya kenapa dia dulu tiba-tiba merasa begitu hebatnya jatuh cinta dengan wanita itu dan tega membatalkan pernikahan kami yang pada saat itu sebulan kedepan akan melangsungkan pernikahan. Itu bukan urusanku.
“Apakah, apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.” Suara Bayu kalah oleh desau angin. Sambil tertunduk.
Aku menggigit bibir, menggeleng, “Kau tahu, saat itu aku akhirnya menyadari, aku tidak akan pernah bisa melanjutkan hidup dengan hati yang hanya tersisa separuh. Tidak bisa. Hati itu sudah rusak, tidak utuh lagi. Maka aku memutuskan membuat hati yang baru. Ya, kali ini hati yang memang benar-benar baru.”
Bayu memberanikan diri mengangkat wajahnya, cemas mendengar intonasi suaraku.

“Maafkan aku
Bayu, aku sudah menikah. Dengan seseorang yang amat aku cintai, aku inginkan. Dan dia  bisa memberikanku sepotong hati yang baru untukku. Maafkan aku. Kau lihat. Ini cincin pernikahan kami, batu giok.” Aku menelan ludah dengan susah payah sambil menatapnya. Hening sejenak. Bayu mematung. Aku mengangkat bahu.
Bayu  menyeka ujung-ujung matanya. Mengangguk pelan. Ia tahu persis itu simbol batu nama ku. Malam ini semua sungguh terasa menyesakkan hati. Pria itu beringsut berdiri dari tempat duduknya, beranjak pergi. Aku menatap punggungnya hilang dari balik pintu kegelapan malam ini.

Maafkan aku
Bayu, aku berbisik pelan menatap selimut gelapnya malam. Melepas cincin itu. Ini bukan cincin milikku. Ini kepunyaan kakakku yang juga menyukai batu giok. Ada gunanya juga memutuskan mengenakan cincin ini sebelum bertemu dengannya. Aku belum menikah. Aku selalu mengharapkan kau kembali. Selalu. Hingga detik ini. Bahkan minggu-minggu pertama kau pergi aku tega berharap dan berdoa pada Tuhan menakdirkan wanita itu bernasib malang.

Tetapi malam ini, ketika melihat wajah sendumu, mata sembabmu, semua cerita tidak masuk akal itu, aku baru menyadari, cinta bukan sekadar soal memaafkan. Cinta bukan sekadar soal menerima apa adanya. Cinta adalah harga diri.
Ya, Harga Diri. Aku bukan sampah yang ketika kau butuhkan kau pungut aku tetapi jika kau tidak membutuhkannya dengan seenaknya kau buang aku ketempat sampah. Cinta adalah rasionalitas sempurna.

Jika kau memahami cinta adalah perasaan irrasional, sesuatu yang tidak masuk akal, tidak butuh penjelasan, maka cepat atau lambat, luka itu akan kembali me
lebar. Kau dengan mudah membenarkan apapun yang terjadi di hati, tanpa tahu, tanpa memberikan kesempatan berpikir bahwa itu boleh jadi karena kau tidak mampu mengendalikan perasaan tersebut. Tidak lebih, tidak kurang.

Kenangan indah bersamamu akan kembali memenuhi hari-hariku entah hingga kapan. Itu benar. Membuatku sesak. Tapi aku tidak akan membiarkan hidupku kembali dipenuhi harapan hidup bersamamu. Sudah cukup.  Biarlah sakit hati ini menemani hari-hariku.

Biarlah aku menelannya bulat-bulat sambil sempurna menumbuhkan hati yang baru, memperbaiki banyak hal, memperbaiki diri sendiri. Apa pepatah bilang? Ah iya, patah hati tapi tetap sombong, patah-hati tapi tetap keren.


***
SELESAI

0 komentar:

Posting Komentar